Dinar emas berdasarkan Hukum Syari’ah Islam adalah koin emas
yang memiliki kadar 22 karat emas (917) dengan berat 4,25 gram, sedangkan
Dirham perak Islam memiliki kadar perak murni dengan berat 3 gram,atau lebih
tepatnya 2,975 gram.
Khalifah Umar ibn Khattab menentukan standar antar keduanya
berdasarkan beratnya masing-masing: "7 dinar harus setara dengan 10
dirham."
Wahyu menyatakan mengenai Dinar Dirham dan banyak sekali
hukum hukum yang terkait dengannya seperti zakat, pernikahan, hudud dan lain
sebagainya. Sehingga dalam Wahyu Dinar Dirham memiliki tingkat realita dan
ukuran tertentu sebagai standar pernghitungan (untuk Zakat dan lain sebagainya)
dimana sebuah keputusan dapat diukurkan kepadanya dibandingkan dengan alat
tukar lainnya.
Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah menyebutkan bahwa terdapat
ijma sejak awal Islam dan masa para Sahabat dan Tabi'in bahwa sepuluh dirham
syariah sepadan dengan tujuh mitsqal (berat dinar) emas. Berat satu mitsqal
emas adalah tujuh puluh dua butir gandum, sehingga tujuh-persepuluhnya adalah
lima puluh dua-perlima butir gandum. Semua ukuran ini dengan kokoh ditetapkan
oleh ijma (kesepakatan).
Di samping memiliki nilai yang stabil, penggunaan Dinar akan
mengurangi ketergantungan keuangan (financial dependency) para penggunanya
terhadap Dolar akibat mismanajemen modal. Negara yang memiliki necara
perdagangan defisit (mayoritas dunia Muslim) berarti jumlah dana dalam negeri
lebih banyak mengalir ke luar negara ketimbang dana asing yang masuk ke dalam
negara. Terjadinya “capital flight” yang tinggi menyebabkan devisa negara akan
turun, kalaupun tidak minus. Bila ini terjadi, dan untuk menutupi defisit
budget negara, maka terpaksa harus didanai dengan hutang luar negeri.
Keterpaksaan berhutang jelas telah memerangkapkan negara penghutang terhadap
keharusan untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan negara donor
(pemberi hutang), yang sifatnya sangat mencekik leher negara penghutang.
Keharusan menggunakan Dolar ketika membayar hutang, akan menyebabkan nilai uang
negara penghutang semakin rendah. Konsekuensinya, negara penghutang berada
dipihak yang dirugikan karena harus membayar hutang dalam jumlah yang lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah hutang sesungguhnya. Ini semata-mata karena
ketidakstabilan (appresiasi) nilai Dolar.
Namun, kalau berhutang dengan Dinar,
maka kapan pun dan dalam keadaan bagaimanapun, nilai Dinar tidak akan berubah.
Kemudian, fluktuasi uang Dolar akan sangat menentukan keuntungan/kerugian para
pemegang Dolar. Tragedi ‘11 September 2001’ itu telah menyebabkan Dolar
terdepresiasi luar biasa sehingga menyebabkan para konglomerat Arab Muslim
mengalami kerugian bermilyar-milyar Dolar. Sedangkan, menyimpan uang dalamDinar, dalam keadaan bagaimanapun, tidak akan berfluktuasi.
Hal ini disebabkan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat
sudah terlalu banyak dan tidak proporsional dengan jumlah barang dan jasa yang
ada di pasar. Dengan kata lain, nilai uang adalah sangat tergantung pada
tinggi-rendahnya jumlah “supply” dan “demand” akan uang dalam masyarakat. Sedangkan,
Dinar, nilainya tidak dipengaruhi oleh hukum “supply” dan “demand”. Superioritas
Dinar dan Dirham dibandingkan dengan mata uang hampa (fiat money) tidak saja
diakui para ekonom Islam, malah turut disaluti ekonom barat. Dinar yang di-back
up 100% oleh emas (memiliki nilai intrinsik 100%) jelas lebih stabil
dibandingkan dengan Euro yang hanya di-back up 20% oleh emas dan Dolar yang
sama sekali tidak di-back up oleh emas (memiliki nol nilai intrinsik). Ini
terbukti ketika AS menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat
inflasi di negara Super Power itu menurun drastis menyamai tingkat inflasi
ketika uang standar emas digunakan pada tahun 1861. Penyebab utama krisis
ekonomi yang berulang-kali menerpa dunia adalah karena pengadopsian sistem
keuangan global yang menggunakan fiat money, bukannya Dinar dan Dirham.
Selain itu, penggunaan Dinar dan Dirham akan menghalang
usaha-usaha pencetakan dan pemusnahan uang dengan semena-mena oleh pihak
berkuasa (pemerintah). Artinya, jumlah peredaran uang dalam masyarakat akan
terkontrol dan inflasipun akan terkendali. Dinar akan mewujudkan sistem moneter
dunia dan pasar valuta asing yang lebih stabil. Ini terjadi karena penggunaan
Dinar akan mengeliminir praktek spekulasi mata uang dan praktek arbitrasi
(arbitraging: meraup keuntungan melalui praktel jual-beli valuta asing).
Penggunaan
Dinar turut mempromosikan perdagangan internasional sebab bertransaksi dengan
Dinar akan meminimalisir biaya transaksi. Bila Dinar digunakan sebagai mata
uang tunggal dunia Islam, maka untuk menukar uang dari satu jenis mata uang ke
mata uang lainnya tidak lagi diperlukan biaya. Dan yang paling luar biasa,
penggunaan Dinar akan lebih menjamin kedaulatan/keutuhan negara dari dominasi
ekonomi, budaya, politik dan ideologi negara barat. Sebagai contoh, dengan hanya mencetak dolar
tanpa perlu di-back up dengan emas dan kemudian dipinjamkan ke Indonesia, AS
kini dengan mudah mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Padahal
yang dipinjamkan itu hanya secarik kertas yang bertuliskan angka-angka tertentu
yang sama sekali tidak memiliki nilai intrinsik. Sebaliknya, tanpa memiliki
emas yang mencukupi, maka sudah tentu AS tidak memiliki Dinar untuk dipinjamkan
ke Indonesia. Pendek kata, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang mampu
mewujudkan sistem moneter global yang berkeadilan (just world monetary system).
Selanjutnya, akibat nilai Dinar tidak berubah, maka tindakan
spekulatif di pasar valuta asing tidak akan terjadi. Di samping kebal terhadap
inflasi, Dinar juga tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga. Dengan kata lain,
Dinar adalah uang bebas riba. Kestabilan Dinar juga akan mempromosikan
perdagangan dan menstabilkan sistem moneter. Krisis ekonomi tersebut malah telah
menyebabkan membengkaknya tingkat pengangguran, rendahnya produktivitas,
naiknya tingkat kemiskinan, dan berbagai penyakit ekonomi lainnya. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka sudah masanya umat Islam untuk tidak menawar-nawar
lagi dalam menggunakan kembali Dinar dan Dirham.
Melihat krusialnya peran Dinar dan Dirham dalam menstabilkan
sekaligus menyejahterakan ekonomi umat, maka uang hampa dianggap sebagai musuh
asasi ekonomi Islam. Tanpa menggantikan uang hampa dengan Dinar dan Dirham,
institusi-institusi keuangan Islam seperti bank syari’ah, asuransi Islam
(takaful), obligasi dan saham syari’ah, dan pagadaian syari’ah (ar-Rahnu) tidak
akan dapat dioperasikan 100% murni berlandaskan al-Qur’an dan Hadist. Operasional institusi keuangan Islam tanpa
kehadiran Dinar dan Dirham sangat sukar membebaskan dirinya dari
praktek-praktak riba, gharar, dan gambling. Itulah sebabnya, upaya pendaulatan
Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam harus segera diwujudkan.
Apalagi kondisi ekonomi barat yang semakin sekarat dengan penggunaan uang hampa
diperkirakan akan segera mengikuti jejak kehancuran ekonomi komunis. Pada saat
itulah umat Islam harus sudah siap dengan Dinar dan Dirham. Jika tidak, ekonomi
dunia Islam akan terus terpuruk. Peluang umat Islam untuk mengungguli ekonomibarat semakin terbuka lebar. Namun, semua ini tergantung pada kesiapan umat
Islam untuk mendaulatkan kembali Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal
mereka. Semoga Islam dapat kembali Meraih Kejayaannya.
0 komentar on Dinar, Is the real money :
Post a Comment and Don't Spam!