where I learn and share

Benarkah Pemerintahan (Khilafah) dalam Daulah Sepeninggal Rasulullah Itu Sangat Penting?

Share on :

Dibeberapa kalangan umat Islam terdapat beberapa kelompok yang menganggap bahwa Khilafah (Pemerintahan) Islam itu adalah sangat penting, sehingga wajib harus disegerakan atau didahulukan. Beberapa contoh tentang pentingnya Khilafah pun diberikan, mengenai berbagai alasan-alasannya dan penekanan mengenai Khilafah itu sendiri.

Sehingga ada beberapa hal yang kurang pas dianalogikan ketika membicarakan khilafah dengan khalifah. Khilafah di identikkan dengan kata Imamah atau khalifah, padahal sejatinya sangat berbeda. Khilafah itu adalah pemerintahan, sedangkan khalifah dan Imamah adalah pemimpin.
Pentingnya kepemimpinan itu memang sudah ditekankan dalam Islam, bahkan diciptakannya Manusia oleh Allah Azzawajallah adalah untuk menjadi khalifah didunia. "Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al An'am 165). Ayat ini merupakan representatif pengertian dari ayat sebelumnya, yaitu Al An'am 62.
Sebagaimana dalam surah Al Baqarah 30  tentang tujuan awal penciptaan manusia itu sendiri, walaupun Allah Azzawajallah sudah paham betul mahluk yang akan diciptakannya (Manusia) adalah orang yang gemar melakukan kerusakan, pertumpahan darah. Tetapi Allah tetap menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, dan sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui apa yang tidak kita ketahui.
Jadi tentu sangat ganjil sekali jika Khalifah itu diartikan sebagai Khilafah (pemerintahan). Karena kata Khalifah itu bentuknya umum sebagaimana Imam. Kata Khalifah, Mas'ul, Imam ini adalah kata umum yang bersifat sebagai pemimpin. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai khilafah (pemerintahan).
Kewajiban seorang untuk menjadi pemimpin dalam Islam itu memang wajib, tetapi bukan pada kewajiban mendirikan pemerintahan (khilafah) karena dalam hadits, Khalifah bisa jadi adalah orang yang mengerti dan mengamalkan ilmu Dien Islam. Rasulullah Saw bersabda : "Ya Allah, rahmatilah khalifah-khalifahku." Para sahabat lalu bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah khalifah-khalifahmu?" Beliau menjawab, "Orang-orang yang datang sesudahku mengulang-ulang pelajaran hadits-hadits dan sunahku dan mengajarkannya kepada orang-orang sesudahku." (HR. Ar-Ridha)
Bahkan masalah bepergian pun, Rasulullah Saw sudah mewanti-wanti untuk memilih pemimpin. "Apabila kamu tiga orang dalam perjalanan hendaklah menunjuk seorang menjadi pemimpin rombongan dan yang berhak menjadi pimpinan adalah orang yang paling pandai dalam bacaan Al Qur'an. (HR. Muslim)
Hal ini menandakan memang Islam menjadikan pemimpin/khalifah/imamah/mas'ul adalah hal yang sangat penting dalam Islam itu sendiri. Tetapi sungguh, Islam tidak pernah mewajibkan umat Islam untuk menyuruh memperjuangkan Pemerintahan (Khilafah), kecuali hanya sebatas kewajiban dari ijtihad para ulama umat Islam saja.
Ada juga dalil yang lain mengenai tentang khilafah, yang bisa kita lihat sebagai berikut:
(Kaum Muhajirin berkumpul), maksudnya: mayoritas mereka (bermusyawarah): yakni tentang urusan Khilafah. Huruf wawu untuk menunjukkan kemuthlakan jamak atau kalimat haaliyyah, dan jika tidak maka urusan itu sudah terjadi sebelum penyelenggarakan jenazah, sebagaimana dituturkan oleh Imam Ath Thabariy, pengarang Kitab al-Riyaadl al-Nadlrah, bahwasanya para shahabat bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam setelah berakhirnya zaman kenabian termasuk kewajiban-kewajiban hukum, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang paling penting, dikarenakan mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan penyemayaman jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling berhak menduduki jabatan itu (at-ta’yiin) tidaklah menciderai kesepakatan yang telah disebut (kesepakatan shahabat mengenai wajibnya mengangkat seorang Imam). Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan Khawarij mengenai kewajiban (mengangkat seorang Imam), termasuk perkara yang tidak perlu diperhitungkan. Sebab, penentangan mereka seperti halnya ahli bid’ah yang lain tidak akan mampu menciderai ijma’. Begitu pentingnya masalah itu (pengangkatan seorang Imam), tatkala Rasulullah saw wafat, Abu Bakar ra berkhuthbah, “Wahai manusia, barangsiapa menyembah Mohammad saw, sesungguhnya Mohammad saw telah wafat, dan barangsiapa menyembah kepada Allah swt, sesungguhnya Allah Hidup tidak mati. Sudah seharusnya untuk urusan ini (nashb al-khilafah) ada orang yang menegakkannya, maka perhatikan dan sampaikan pandangan kalian”. Maka, mereka berkata,”Anda benar, dan kaum Muhajirin segera berkumpul..” [‘Ali bin (Sulthan) Mohammad (Abu al-Hasan Nuur al-Diin al-Mulaa al-Harawiy al-Qaariy, Jam’u al-Wasaail fiy Syarh al-Syamaail, Juz 2/219]
Dalil ini sangat tidak cocok dengan realitas sebenarnya yang dikabarkan dari Sirrah Nabawiyah. Dalil diatas adalah merujuk pada peristiwa ketika sahabat Anshar bermusyawarah di Saqifah Bani Sa'idah. Ini adalah kejadian ketika kaum Anshar berkumpul untuk bermusyawarah.
Perkataan Abu Bakar mengenai :
"Abu Bakar ra berkhuthbah, “Wahai manusia, barangsiapa menyembah Mohammad saw, sesungguhnya Mohammad saw telah wafat, dan barangsiapa menyembah kepada Allah swt, sesungguhnya Allah Hidup tidak mati. Sudah seharusnya untuk urusan ini (nashb al-khilafah) ada orang yang menegakkannya, maka perhatikan dan sampaikan pandangan kalian"
Bahwa pernyataan Abu Bakar itu adalah tercetus ketika Abu Bakar yang mencoba menenangkan Umar tetapi tidak juga mendapatkan hasil, bahkan tidak diperdulikan oleh Umar yang tetap meyakinkan orang-orang disekitarnya bahwa Rasulullah Muhammad Saw., masih hidup. Dan dari pernyataan diatas, Khutbah Abu Bakar tidak seperti yang dikabarkan sebagaimana yang sebenarnya, terjadi penambahan yang aneh dalam kalimat tersebut, lihat kata ini “Sudah seharusnya untuk urusan ini (nashb al-khilafah) ada orang yang menegakkannya, maka perhatikan dan sampaikan pandangan kalian” Padahal Abu bakar tidak mengatakan yang seperti ini di Sirrah Nabawiyah manapun. Bisa di lihat di Ibnu Hisyam juga! Tetapi seperti ini:
Ketika Umar masih saja tidak mau diam, akhirnya Abu Bakar menghadapkan muka kepada orang banyak. Dan semua umat Islam yang berada disitu langsung memperhatikan Abu Bakar "Barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Dan barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah tetap hidup, takkan pernah mati." Selanjutnya Abu Bakar membacakan Ali Imran ayat 144 "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur".
Ketika mendengar ayat ini, Umar tertunduk dan berkata, "Demi Allah, begitu Abu Bakar membacakan ayat itu, aku tercengang sampai jatuh ke lantai, kedua kakiku tak mampu menopang tubuhku, dan sadarlah aku bahwa Rasulullah saw. memang telah meninggal dunia."
Pada peristiwa musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah adalah peristiwa dimana para kaum Anshar yang berselisih pendapat dan hal itu didengar oleh Umar Ibnul Khaththab. Di pertemuan itu, terdapat para pembesar-pembesar Anshar yang juga dihadiri oleh Zubair bin Awwam dan Ali bin Abu Thalib.
Umar dan Abu Bakar tidaklah berada di ruang pertemuan Bani Sa'idah itu. Tetapi berkumpul dengan para Muhajirin sendiri di tempatnya Abu Bakar. Ketika terdengar selisih paham antara orang Anshar, Abu Bakar, Umar dan Muhajirin mendatangi orang Anshar di Bani Sa'idah.
Dalam perjalanan antara Abu Bakar, Umar dan orang-orang Muhajirin. Mereka bertemu dengan dua orang yang shaleh dari orang Anshar, takut terjadi perselisihan atau sengketa yang besar, kedua orang Shaleh tersebut menyuruh agar Abu Bakar dan Umar serta Muhajirin untuk kembali dan tidak mendatangi pertemuan di Bani Sa'idah.
Tetapi, Umar memaksa untuk bertemu dengan orang-orang anshar, sehingga perjalanan pun dilanjutkan.
Ketika sudah tiba di Saqifah (ruang pertemuan) Bani Sa'idah, rombongan Abu Bakar langsung duduk dan mendengarkan. Disitu salah satu pembesar Anshar membuat syair-syair yang indah guna untuk memberikan pengertian tentang hak orang Anshar, juru bicara Anshar berkata "'Amma ba'du, kami adalah para penolong Allah dan pasukan Islam, sedangkan kalian, hai kaum Muhajirin, adalah salah satu regu dari pasukan kami. Memang, serombongan dari kalian telah mengikuti perjalanan yang kami lakukan."
Umar merasa bahwa orang-orang Anshar ingin mendesak Muhajirin dari tempatnya yang asli dan hendak merampas urusan tersebut dari Muhajirin.
Ketika juru bicara Anshar sudah diam dalam menyampaikan maksud, Umar Ibnul Khaththab sudah seperti ingin "membakar" ucapan juru bicara dari Anshar. Tetapi Abu Bakar melarang Umar, dan menyuruh umar untuk diam saja.
Hingga akhirnya, Abu Bakar pun mengatakan perkataannya "Apa yang kalian katakan mengenai kebaikan yang ada pada diri kalian (anshar), itu memang benar. Akan tetapi, seluruh bangsa Arab takkan mengakui urusan ini kecuali sebagai milik kabilah Quraisy. Mereka adalah kabilah Arab paling unggul, baik nasab maupun negerinya. Sesungguhnya, aku telah rela untuk kalian salah seorang dari kedua orang ini. Karenanya, berbai'atlah kalian kepada MANA SAJA dari keduanya YANG KALIAN SUKA"
Saat itu, Abu bakar memegang tangan Umar Ibnul Khaththab dan Abu Ubaidah bin Jarrah, sedangkan Abu Bakar sendiri duduk ditengah-tengah keduanya. Perkataan Abu Bakar membuat Umar sangat membenci Abu Bakar, "Demi Allah, andaikan aku disuruh maju lalu dipenggal leherku, sedangkan hal itu tidak mendekatkan aku kepada suatu dosa, hal itu lebih aku sukai daripada aku harus memimpin suatu kaum di mana terdapat Abu Bakar" ucap Umar.
Hingga akhirnya seorang juru bicara Anshar berkata "Aku adalah ahli bicara yang pintar dan cendekiawan ulung. Dari kami ada pemimpin dan dari kalian pun ada pemimpin, hai kaum Quraisy".
Akhirnya terdapat kegaduhan diantara ruang tersebut. Sampai ada teriakan-teriakan keras, sehingga membuat Umar takut jika terdapat perkelahian. Hingga akhirnya Umar menyuruh Abu Bakar untuk merentangkan tangannya. Lalu Umar pun berbai'at kepada Abu Bakar, selanjutnya orang-orang Muhajirin langsung juga berbai'at kepada Abu Bakar hingga akhirnya orang-orang Anshar pun menyusul berbai'at kepada Abu Bakar.
Setelah itu keesokan harinya, Umar Ibnul Khaththab mengumumkan kepada masyarakat Umum tentang kekhalifahan Abu Bakar, hingga masyarakat umum pun berbondong-bondong berbai'at kepada Abu Bakar.
Dari Sirrah Nabawiyah yang saya tuliskan ulang tersebut, terlihat jelas Abu Bakar sendiri menyarankan untuk menjadikan dua pemimpin yang mana yang disukai (Umar Ibnul Khaththab dan Abu Ubaidah bin Jarrah). Lalu dikuatkan lagi dengan Umar Ibnul Khaththab yang takut melihat kegaduhan dan terjadinya perkelahian hingga langsung berbai'at kepada Abu Bakar.
Hal ini menjelaskan bahwa bukan berarti memilih kepemimpinan itu harus disegarakan dan lebih penting daripada menguburkan jenasah Rasulullah. Tetapi hal ini melihat situasi dan kondisi saat itu yang hampir terjadi perkelahian antara sahabat Rasulullah Saw. Tentu jangan sampai terjadi hal-hal semacam itu, apalagi jenasah Rasulullah belum dikuburkan. Bagiamana bisa kita menyatakan bahwa pemilihan khalifah itu adalah paling penting, sedangkan hadits Rasulullah juga menyuruh untuk mengantarkan jenasah agar lebih cepat.
Abu Hurairah r.a. mengatakan Nabi saw bersabda, "Segerakanlah mengantarkan jenazah. Jika jenazah itu baik, maka itu adalah kebaikan yang kamu ajukan (segerakan) kepadanya. Jika jenazah itu tidak demikian (tidak baik), maka itu adalah keburukan yang kalian lepaskan dari pundak-pundak kalian."
Memilih khalifah atau pemimpin (bukan Khilafah) adalah hal yang penting, tetapi menguburkan jenazah juga hal yang penting. Dua-duanya adalah hal yang penting dalam Islam. Maka berarti harus proporsional dalam menanggapi hal ini, dimana yang lebih dulu perlu disegerakan maka disegerakan. Insya Allah, jika seandainya pada masa sepeninggal Rasulullah tidak terjadi "perebutan" kekuasaan untuk menjadi siapa yang paling unggul dan paling berhak menjadi khalifah, bisa jadi menguburkan jenasah Rasulullah lebih cepat adalah pilihan utama pada saat itu. Wallahu a’lam bish shawab
Oleh: Abu Jaisy

Artikel Terkait

0 komentar on Benarkah Pemerintahan (Khilafah) dalam Daulah Sepeninggal Rasulullah Itu Sangat Penting? :

Post a Comment and Don't Spam!

 
free counters
eXTReMe Tracker

Total Pageviews